Tapi kini, di hari razia ini, Ibu Nurma telah menemukan sepucuk surat dan setangkai bunga plastik berwana ungu di dalam tasku. Bunga itu indah sekali. Aku suka. Tapi aku tidak menyangka bahwa bunga itu berasal dari tasku.
Tubuhku menggigil. Aku melangkah ke depan dengan tatapan yang tak percaya. Akupun bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang telah tega mempermainkan aku. Ingin sekali menangis dan berteriak dan mengatakan bahwa aku tidak tahu. Tapi buat apa aku mengelak. Tak ada gunanya. Buktinya bunga itu ada di dalam tasku tadi. Itu yang dikatakan Ibu Nurma, wali kelasku yang terkenal judes.
“Baca surat ini,” perintah Ibu Nurma. Aku mengambil surat berwarna ungu itu. Teman-temanku bersorak riuh sekali. Aku mulai membaca surat berkertas harum itu dengan diiringi sorakan dari teman-teman.
“Tidak ada yang bersuara selagi Uti membacakan surat ini. Bila ada yang tertawa atau bersuara, maka dia akan menemani Uti menjalani hukumannya kelak.”
Kata-kata Ibu Nurma cukup membuat semua temanku terdiam dan menjadi patung. Mereka menanti aku melanjutkan membaca isi surat tersebut. Suaraku bergetar.
“Uti yang cantik, berminggu-minggu aku memikirkan apa yang bisa aku berikan kepadamu. Aku tak mengerti apa yang kamu suka. Aku bingung sekali. Tapi rasa sayangku padamu menuntunku untuk membuat setangkai bunga ini.
Uti yang pintar, terimalah persembahan ini dengan hati senang. Senyummu kutunggu saat kau menatap bunga ini. Terima kasih, Uti yang lembut hati. Aku sayang kamu.”
Sungguh aku tak tahu siapa yang telah memberiku bunga nan cantik itu. Pada akhirnya Ibu Nurma percaya bahwa aku benar-benar tidak tahu siapa pengirim bunga itu. Akhirnya aku tidak dihukum. Hari itu semua teman-temanku pun ribut dan penasaran siapa pemberimisterius itu.
“Uti, aku minta maaf,” kata Anggi dengan nada bergetar.
“Maaf untuk apa?” tanyaku heran. Anggi adalah temanku yang tak banyak bicara.
“Surat itu dari aku,” kata Anggi singkat. Aku tentu saja kaget.
“Kamu?”
“Ya, bunga itu untuk kamu,” kata Anggi dengan nada takut.
“Kenapa kamu tidak bilang waktu itu?” tanyaku.
“Aku ketakutan sekali. Maafin aku,” kata Anggi memohon.
“Kok kamu sembunyi-sembunyi?” tanyaku penasaran.
“Aku takut kamu tidak suka dengan bunganya. Kata kakakku, aku tidak berbakat membuat bunga. Jadi aku tidak ingin melihat rona penolakan di wajahmu,” terang Anggi.
“Bunga itu cantik sekali. Aku suka kok. Kamu mempunyai bakat yang besar dalam merangkai bunga. Percaya deh,” kataku jujur.
“Benarkah?”
“Yakinlah. Aku letakkan bunga itu di ruang tamu. Mama dan papaku suka juga dengan bunga itu. Ayo, ke rumahku. Biar mamaku tahu siapa pembuat bunga ungu nan indah itu,” ajakku.
“Uti, kamu memang teman yang paling baik. Kamulah orang pertama yang menghargai karyaku. Terima kasih ya,” kata Anggi bergetar. Air matanya mengalir di pipinya yang ranum.
“Sama-sama, Anggi.”
Tak kusangka tak ada yang pernah menghargai karya Anggi selama ini. Pantas saja dia takut aku tolak.
0 komentar:
Posting Komentar